Selasa, 06 September 2011

Ilmuwan Jepang Ciptakan Otak Transparan

Embrio tikus yang direndam dalam larutan garam (kiri) dibandingkan embrio yang dicuci menggunakan Sca le.
Diagram courtesy RIKEN


"Penelitian kami saat ini memang fokus pada otak tikus, namun aplikasinya tak terbatas pada tikus maupun otak," kata Atsushi Miyawaki, peneliti RIKEN Brain Institute Jepang yang menciptakan otak transparan ini. "Kami bisa mengembangkan pemakaian Sca le untuk organ lain seperti jantung, otot dan ginjal serta pada jaringan dari primata dan sampel biopsi manusia," lanjut Miyawaki seperti dikutip National Geographic, Jumat (2/9/2011).

Sca le merupakan larutan yang terbuat dari bahan yang relatif sederhana. Komposisinya adalah urea (senyawa utama pada urin), gliserol (senyawa yang juga terdapat pada sabun) dan deterjen yang disebut Triton X. Untuk membuat otak transparan, organ otak direndam selama 2 minggu dalam larutan ini.

Tak seperti larutan lain yang juga digunakan untuk membantu melihat otak, Sca le tak menghilangkan penanda fluorescent. Selama ini, penanda fluorescent dipakai untuk membantu fluorescent imaging. Teknik fluorescent imaging sendiri digunakan untuk memetakan arsitektur otak, mulai jaringan saraf, pembuluh darah dan struktur lain.

Otak transparan yang diciptakan bisa membantu pemetaan arsitektur otak. Lebih luasnya, organ transparan bisa membantu pencitraan awal sebelum melakukan pencitraan yang lebih mahal seperti CT Scan dan MRI. Aplikasi untuk penanganan penyakit, dokter bisa menganalisa apakah perawatan yang diberikan benar-benar berdampak pada organ target. Ini hal yang belum bisa dilakukan sebelumnya dalam dunia medis.

Meski banyak manfaatnya, larutan Sca le tidak akan digunakan segera secara luas. Miyawaki mengatakan, Sca le saat ini masih terlalu toksik untuk digunakan. "Saat ini kami sedang mencari kandidat reagen lain yang memungkinkan kita mempelajari jaringan hidup dengan cara yang sama dengan transparansi yang lebih rendah," jelas Miyawaki. Penemuan Miyawaki dipublikasikan online di Jurnal Nature Neuroscience , Selasa (30/8/2011) lalu. 

sumber: kompas.com
               National Geographic



Selasa, 30 November 2010

Asam Absisat : Sebuah Mekanisme Respon Tanaman Terhadap Cekaman Kekeringan


Dinamika pertumbuhan perkotaan yang pesat telah menyebabkan penyusutan lahan pertanian yang subur oleh adanya konversi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian.  Dalam kurun waktu 1999-2001, areal penanaman padi di Indonesia telah mengalami penyusutan seluas 549.420 ha. Guna memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan komoditi lain yang semakin meningkat perlu dilakukan ekstensifikasi pertanian.  Perluasan lahan pertanian untuk mengimbangi penyusutan tersebut terutama diarahkan kepada pengembangan lahan marjinal yang banyak tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara dan Irian Jaya.
                Lahan kering adalah salah satu areal potensial untuk dikembangkan sebagai lahan pertanian ditinjau dari luasannya.  Lahan yang tersedia  siap untuk dikembangkan mencapai 17,1 juta ha yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi,  dan Irian Jaya.  Selain itu masih terdapat lahan kering marjinal bertopografi curam potensial seluas 88.173 juta ha yang tersebar di Jawa, Bali, Sumatera, Sulawesi,  Maluku, Nusa Tenggara dan Irian Jaya.
                Lahan marjinal didefinisikan sebagai lahan yang mempunyai potensi rendah sampai sangat rendah untuk dimanfaatkan sebagai lahan pertanian, namun dengan penerapan suatu teknologi dan sistem  pengelolaan yang tepat potensi lahan tersebut dapat ditingkatkan menjadi lebih produktif dan berkelanjutan.  Untuk memacu produktivitas, strategi yang dapat dikembangkan di lahan kering adalah (1) memberikan input yang tinggi dengan memanipulasi lahan sehingga menjadi sesuai untuk pertumbuhan tanaman (high input approach) dan (2) menggunakan varietas tanaman yang adaptif terhadap kondisi lahan kering (low input approach).  Pertimbangan-pertimbangan untuk memuliakan sumberdaya alam, menekan biaya pelestarian lingkungan hidup,  kendala yang besar dan seringnya kegagalan dengan pendekatan input tinggi memicu kepada  pendekatan input rendah (low input approach) melalui program pemuliaan.
                Penggunaan penanda morfologi, biokimia dan molekuler merupakan salah satu metode yang dapat membantu program pemuliaan untuk menyeleksi varietas-varietas adaptif terhadap kondisi kekeringan.  Pada tulisan ini dibahas tentang asam absisik, salah satu senyawa osmotik yang potensial dijadikan sebagai penanda biokimia terhadap cekaman kekeringan.  Sebelumnya dibahas juga peranan air bagi tanaman dan respon tanaman terhadap kondisi kekeringan.

 

 PERANAN AIR BAGI TANAMAN

                Air adalah salah satu komponen fisik yang sangat vital dan dibutuhkan dalam jumlah besar untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman.  Sebanyak 85-90 % dari bobot segar sel-sel dan jaringan tanaman tinggi adalah air (Maynard dan Orcott, 1987).  Noggle dan Frizt (1983) menjelaskan fungsi air bagi tanaman yaitu : (1) sebagai senyawa utama pembentuk protoplasma, (2) sebagai senyawa pelarut bagi  masuknya mineral-mineral  dari larutan tanah ke tanaman dan sebagai  pelarut mineral nutrisi yang akan diangkut dari satu bagian sel ke bagian sel lain, (3) sebagai media terjadinya  reaksi-reaksi metabolik, (4) sebagai rektan pada sejumlah reaksi metabolisme seperti siklus asam trikarboksilat, (5) sebagai penghasil hidrogen pada proses fotosintesis, (6) menjaga turgiditas sel dan berperan sebagai tenaga mekanik dalam pembesaran sel, (7)mengatur mekanisme gerakan tanaman seperti membuka dan menutupnya stomata, membuka dan menutupnya bunga serta melipatnya daun-daun tanaman tertentu, (8) berperan dalam perpanjangan sel, (9) sebagai bahan metabolisme dan produk akhir respirasi, serta (10) digunakan dalam proses respirasi.
                Kehilangan air pada jaringan tanaman akan menurunkan turgor sel, meningkatkan konsentrasi makro molekul serta senyawa-senyawa dengan berat molekul rendah, mempengaruhi membran sel dan potensi aktivitas kimia air dalam tanaman (Mubiyanto, 1997).  Peran air yang sangat penting tersebut menimbulkan konsekuensi bahwa langsung atau tidak langsung kekurangan air pada tanaman akan mempengaruhi semua proses metaboliknya sehingga dapat menurunkan pertumbuhan tanaman.

 

RESPON TANAMAN TERHADAP KEKERINGAN

                Air yang tersedia dalam tanah adalah selisih antara air yang terdapat pada kapasitas lapang dan titik layu permanen.  Diatas kapasitas lapang air akan meresap ke bawah atau menggenang, sehingga tidak dapat dimanfaatkan oleh tanaman.  Di bawah titik layu permanen tanaman tidak mampu lagi menyerap air karena daya adhesi air dengan butir tanah terlalu kuat dibandingkan dengan daya serap tanaman.  Cekaman kekeringan pada tanaman disebabkan oleh kekurangan suplai air di  daerah perakaran dan permintaan air yang berlebihan oleh daun dalam kondisi laju evapotranspirasi melebihi laju absorbsi air oleh akar tanaman.  Serapan air oleh akar tanaman dipengaruhi oleh laju transpirasi, sistem perakaran, dan ketersediaan air tanah (Lakitan, 1996).
                Respon tanaman yang mengalami cekaman kekeringan mencakup perubahan ditingkat seluler dan molekuler seperti perubahan pada pertumbuhan tanaman, volume sel menjadi lebih kecil, penurunan luas daun, daun menjadi tebal, adanya rambut pada daun, peningakatan ratio akar-tajuk, sensitivitas stomata, penurunan laju fotosintesis, perubahan metabolisme karbon dan nitrogen, perubahan produksi aktivitas enzim dan hormon, serta pe-rubahan ekspresi gen (Kramer, 1980; Pennypacker Pugnaire, Serrano dan Pardos, 1990; Mullet dan Whissit, 1996; Navari-Izzo dan Rascio, 1999; Pugnaire  et al, 1999).
                Secara umum tanaman akan menunjukkan respon tertentu bila mengalami cekaman kekeringan.  Respon tanaman terhadap stres air sangat ditentukan oleh tingkat stres yang dialami dan fase pertumbuhan tanaman saat mengalami cekaman.  Bila tanaman dihadapkan pada kondisi kering terdapat dua macam tanggapan yang dapat memperbaiki  status air, yaitu (1) tanaman mengubah distribusi asimilat baru  untuk mendukung pertumbuhan akar  dengan mengorbankan tajuk, sehingga dapat meningkatkan kapasitas akar menyerap air serta menghambat pemekaran daun untuk mengurangi transpirasi; (2) tanaman akan mengatur derajat pembukaan stomata untuk menghambat kehilangan air lewat transpirasi (Mansfield dan Atkinson, 1990).
                Menurut Pugnaire et al (1999), bergantung responnya terhadap kekeringan, tanaman dapat diklasifikasikan menjadi (1) tanaman yang menghindari kekeringan (drought avoiders) dan (2) tanaman yang mentoleransi kekeringan (drought tolerators).  Tanaman yang menghindari kekeringan membatasi aktivitasnya pada periode air tersedia atau akuisisi air maksimum antara lain dengan meningkatkan jumlah akar dan modifikasi struktur dan posisi daun.  Tanaman yang mentoleransi kekeringan mencakup penundaan dehidrasi atau mentoleransi dehidrasi.  Penundaan dehidrasi mencakup peningkatan sensitivitas stomata dan perbedaan jalur fotosintesis, sedangkan toleransi dehidrasi mencakup penyesuaian osmotik.
                Senyawa biokimia yang dihasilkan tanaman sebagai respon terhadap kekeringan dan berperan dalam penyesuaian osmotik bervariasi, antara lain gula-gula, asam amino, dan senyawa terlarut yang kompatibel (Ingram dan Bartels, 1996; Nguyen, Babu dan Blum, 1997).  Senyawa osmotik yang banyak dipelajari pada toleransi tanaman terhadap kekeringan antara lain prolin, asam absisik, protein dehidrin, total gula, pati, sorbitol, vitamin C, asam organik, aspargin, glisin-betain, serta superoksida dismutase dan K+ yang bertujuan untuk menurunkan potensial osmotik sel tanpa membatasi fungsi enzim (Venekamp, 1989; Gosset et al., 1994;  Santos-Diaz dan Ochoa-Alejo, 1994; Savin dan Nicolas, 1996; Close, 1997; Notle Hanson dan Gage, 1997; Yoshiba et al., 1997;  Yakushiji, Morinaga dan Nonami, 1998; Zushi dan Matsuzoe, 1998; dan Xiong, Ishitani dan Zhu, 1999).  Menurut Amthor dan McCree (1990) peningkatan alokasi relatif substrat yang tersedia ke akar yang selanjutnya menyebabkan produksi daun menurun, merupakan salah satu akibat perubahan konsentrasi antar bagian dalam sistem metabolisme tanaman yang mengalami cekaman air.  Peristiwa tersebut sering diinterpretasikan sebagai mekanisme adaptasi terhadap kondisi langka air.

 

AKUMULASI ASAM ABSISAT

                Asam absisat (ABA) merupakan salah satu hormon tumbuh yang banyak kaitannya dengan kondisi cekaman lingkungan pada tanaman termasuk cekaman kekeringan (Bianco-Trinchant dan Le page-Degivry, 1998; Xiong et al., 1999).  Asam absisik meningkat dengan segera ketika tanaman mengalami cekaman kekeringan sebagai respon terhadap kondisi cekaman kekeringan (Kirkham, 1990; Setiawan, 1998; Leung dan Giraudat, 1998).
                Terdapat perbedaan tingkat kadar ABA yang terbentuk antara tanaman yang toleran terhadap cekaman kekeringan dibanding dengan tanaman yang peka.  Kadar ABA pada tanaman yang toleran lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman yang peka, sehingga ABA selalu dikaitkan dengan sifat toleran tanaman terhadap cekaman kekeringan  (Kirkham, 1990; Olsen et al., 1992; Farran et al., 1996; Fernandez, Perry dan Flore, 1997; Carrier et al., 1997; Setiawan, 1998).


Gambar 1. Mekanisme Respon Tanaman terhadap Cekaman Kekeringan ((+) selanjutnya konsentrasi meningkat;  (-) selanjutnya konsentrasi menurun pada cekaman berat; ----  diduga ABA berperan dalam transduksi gen; …. Diduga merupakan bagian sekuen gen lain yang berperan dalam mekanisme toleransi terhadap cekaman kekeringan; d-OAT-ornithine-d-aminotransferase; P5C-pyroline-5-carboxylate; ORN-primer ornithne; ABA-absisic acid) (Wijana, 2001)



Aplikasi ABA secara oksogen menunjukkan terinduksinya penutupan stomata, peningkatan konduktivitas air pada akar dan menginduksi akumulasi prolin (Dingkuhn et al., 1991). Fernandez et al (1997) mengamati pada tanaman apel, ABA merupakan implikasi pada tanaman sebagai tanggap cekaman terhadap kekeringan.  ABA dibiosintesis di akar selanjutnya ABA ditranspor dan diakumulasi di daun yang menyebabkan penurunan konduktan stomata dan fotosintesis (Kirkham et al., 1990; Fernandez et al., 1997; Hartung, Pauke dan Davies, 1999).
                Kemampuan akumulasi ABA berbeda tergantung pada spesies dan kultivar tanaman, sebagaimana berbeda ditemukan pada tanaman padi, kedelai, kacang tanah, dan apel (Dingkuhn et al., 1991; Hamim, 1995; Setiawan, 1998; Fernandez et al., 1999).  Fernandez et al (1997) menemukan bahwa kadar ABA lebih tinggi pada daun yang diperlakukan cekaman kekeringan dibandingkan dengan tanaman kontrol (tanpa perlakuan cekaman kekeringan).  







Gambar 2.  Konsep Hipotetik Persepsi Selluler Cekaman Kekeringan dan Ekspresi Gen (Shinozaki dan  Yamaguchi-Shinozaki, 1996)


Hal serupa dilaporkan Setiawan (1998) bahwa kadar ABA pada daun tanaman   kacang   tanah  lebih  tinggi   dibandingkan  dengan pada akar tanaman yang diperlakukan cekaman kekeringan.  Varietas US-605 yang toleran terhadap cekaman kekeringan mengandung ABA paling tinggi pada daun dan sebaliknya paling sedikit pada akar dibandingkan dengan varietas Lamongan yang moderat dan PI-337409 yang peka terhadap kekeringan.  Selanjutnya Setiawan (1998) menyatakan bahwa ABA yang diproduksi di akar ditranslokasikan ke daun segera setelah tanaman mengalami cekaman kekeringan, sehingga kandungan ABA pada akar menjadi berkurang pada tanaman yang toleran, sebaliknya pada tanaman yang peka cekaman kekeringan kadar ABA yang ditranslokasikan ke daun dari akar lebih sedikit.  Menurut Setiawan (1998) kadar ABA pada tanaman kacang tanah yang toleran lebih tinggi  dibandingkan dengan tanaman yang peka, baik pada bagian akar maupun pada daun.  Temuan Setiawan (1998) tersebut sama seperti yang ditemukan Fernandez et al (1997), Olsen et al (1992), Farrant et al (1996 dan Carrier et al (1997). 


PERANAN ABA DALAM EKSPRESI GEN

                Analisis ekspresi gen dengan mutan Arabidopsis ABA deficient atau ABA-insensitive menunjukkan beberapa gen penginduksi cekaman tidak memerlukan akumulasi ABA eksogen pada kondisi kering atau dingin (Ingram dan Bartels, 1996; Shinozaki dan Yamaguchi-Shinozaki, 1996; Bray, 1997).  Ini menunjukkkan bahwa tidak hanya jalur ABA dependent yang terlibat dalam respon terhadap cekaman air, tetapi juga jalur ABA independent.  Analisis ekspresi gen induksi ABA yang menunjukkan bahwa beberapa gen memerlukan biosintesis protein untuk induksinya oleh ABA, memberi ke-san bahwa jalur independent hadir antara produksi ABA eksogen dan ekspresi gen selama cekaman.
                Pada Gambar 2 disajikan hubungan hipotetik keempat jalur yang berfungsi mengaktivasi gen induksi cekaman dalam kondisi dehidrasi (Shinozaki dan Yamaguchi-Shinozaki, 1996).  Jalur I dan II adalah jalur ABA dependent dan jalur III dan IV adalah ABA independent.
                Pada jalur I, faktor biosintesis protein penting untuk ekspresi gen induksi cekaman air.  Induksi gen kekeringan Arabidopsis, rd22, dimediasi oleh ABA dan memerlukan biosistesis protein untuk ekspresi ABA dependent (Shinozaki dan Yamaguchi-Shinozaki, 1996). A67-bp bagian dari promotor rd22 essensial untuk ekspresi ABA dan mengandung beberapa protein pengikat DNA seperti MYC dan MYB, tetapi bagian ini tidak memiliki ABREs (Iwasaki et al, 1995).
                Jalur II tidak memerlukan biosintesis protein untuk mengekspresikan gennya.  Gen induksi dehidrasi mengandung ABREs (PyACGTGGC) potensial pada bagian promotornya yang berfungsi sebagai element DNA cis-action yang terlibat dalam ekspresi gen. C-DNA untuk ABRE dan G-box pengikat protein telah diisolasi dan memiliki bagian dasar yang berbatasan dengan Leu-zipper motif (bZIP) (Shinozaki dan Yamaguchi-Shinozaki, 1997).
Beberapa gen, antara lain rd29A, kin1,kin2, dan rd17, tidak memerlukan ABA untuk ekspresinya pada kondisi kekeringan tetapi berespon terhadap ABA eksogen (Shinozaki dan Yamaguchi-Shinozaki, 1996; Bray, 1997). Sekuens 9-bp, TACCGACAT, disebut DRE, adalah essensial untuk regulasi induksi rd29A dalam kekeringan, suhu rendah dan kadar garam tinggi, tapi tidak berfungsi sebagai ABRE (jalur IV).  Promotor rd29A mengandung ABRE, diduga berperan dalam ekspresi gen.  Beberapa gen induksi kekeringan tidak berrespon terhadap perlakuan dingin dan ABA (jalur III).  Gen-gen tersebut adalah rd19 dan rd21 yang menyandikan thiol protease, dan erd1 yang menyandikan subunit regulator Clp protease (Nakashima et al, 1997 in Shinozaki dan Yamaguchi-Shinozaki, 1997)  


PENUTUP

                Mekanisme adaptasi tanaman terhadap cekaman kekeringan antara lain dengan melakukan penyesuaian osmotik membentuk senyawa osmotikum.  Asam absisik adalah salah satu senyawa osmotik yang berperan dalam mekanisme toleransi terhadap cekaman kekeringan.  Studi yang telah dilakukan menunjukkan ABA berperan langsung dalam mengekspresikan toleransi tanaman terhadap kekeringan.  Hal ini menunjukkan ABA adalah salah satu penanda biokimia potensial untuk mendeteksi tanaman toleran kekeringan.